Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan
yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya.
Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang
ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama
Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah
“Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah
berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
ASAL
MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua
Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu,
yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai
di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan
“Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun
setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka
makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang
Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak
hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang
lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku
yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”,
yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala
dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk
Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang
menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan
Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk
rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan
sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal
adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak
mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena
langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di
Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan
bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa
telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan
perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan
kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa,
Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima
orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang
Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang
pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto
kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat
bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku
Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang.
Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman
Kalimantan.
Upacara
Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat
suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang
orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat
yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah
meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak
sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah
mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali
acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya
tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia
Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak
memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena
supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan
manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat
cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan
supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang.
Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari
keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media
burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok
merah.
Mangkok merah merupakan media
persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan
mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima
biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di
edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan
sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya
biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar
biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari
apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan
diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk
mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu
roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan
mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa
sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh
para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati
korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah
orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk
keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis
akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu
(ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar
segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya
seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada
yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk
terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti
dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat
berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan.
Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan
kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok
merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi
ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967.
pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi
lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi
dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama
yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek
kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis
mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa
asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke
dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan
ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari
langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
PROSES
PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN
Setelah seseorang dari suku Dayak
Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai
pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu
penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa
sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam,
beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan
disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke
dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat
peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang
dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat
nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal
dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi
mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya
dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan
lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul
menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku,
ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi
satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu
dinamakan rapu yang pada waktu
penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman
kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat
dimasukkan ke dalam rarungsambil dibunyikan
gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu
itu akan hadir wadian, pasambe, damang,
pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi
pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua
keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan
bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat
dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati
tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga
bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai
dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai
tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak
keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati.
Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah
sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi
berada di dunia fana.
SENI
TARI DAYAK
1.Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering
disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acaralainnya.Tari ini
tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak
Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn,
Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2.
Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang
seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini
sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si
penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari
mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan
perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan
lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3.Tari Kancet
LedoTari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita
dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya
memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan
diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4.Tari Kancet
Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
6.Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7.Tari Hudoq
Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8.
Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan
untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila.
Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).a kita
memanfaatkan dan mengelolanya.
9.Tari Belian
Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10.Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
Senjata Sukubangsa Dayak
Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak.
Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter,
ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan
untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari
batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut
damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau
diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi
liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi
ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai
tempat pegangan.
Mandau. Merupakan senjata utama dan
merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan
selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa.
Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan
dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang
disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang
mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya.
Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa
yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu
Montalat.
Dohong. Senjata ini
semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat
dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh
kepala-kepala suku, Demang, Basir.
BERBURU
ALA SUKU DAYAK
Anda pernah berburu? Atau justru Anda
memang mempunyai hobi berburu? Bagaimana cara Anda berburu? Menunggu binatang
buruan dan tembak langsung?
Suku Dayak yang hidup merambah di
hutan-hutan mempunyai cara unik dalam berburu binatang. Salah satunya yang saya
temui pada suatu kesempatan ekspedisi ke Kalimantan Timur, tepatnya di desa
Long Loreh Kabupaten Tarakan. Untuk berburu mereka tidak menunggu binatang
buruannya datang mendekati mereka tetapi mereka memanggil binatang yang
diinginkannya untuk datang mendekati mereka. Caranya?
Caranya tergantung dari binatang apa
yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa mereka akan menirukan suara
anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan
ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Kenapa begitu?
“Karena Rusa selalu melindungi anaknya. Dengan mendengar suara ini dia merasa
anaknya membutuhkan pertolongan” demikian keterangan yang saya peroleh dari
seorang pemburu disana.
Bagaimana dengan binatang lainnya?
Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk (monyet besar), maka
untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang kali
sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak
pernah menjadi target buruan. “Rasanya seperti makan daging manusia” demikian
alasan mereka.
Memanggil (tepatnya mengejar) Babi
adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang akan selalu diajak selama
berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu
Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung
tersebut yang mirip suara Elang. “KooaaaaK” kira-kira begitu.
Alat berburu yang mereka gunakan
hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka panjang, biasanya sumpit
tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum sumpit yang digunakan
berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya melumpuhkan atau
bahkan mematikan.
Selama berburu mereka juga menghitung
waktu dan arah angin. Perhitungan waktu berkaitan dengan aktivitas binatang
buruan sementara arah angin untuk membantu mereka mennetukan posisi untuk
menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan mendekati mereka sangat
dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.
Hal yang bisa diambil dari kehidupan
suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat melekat mereka bahkan dalam hal
berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat tertentu di mana persediaan lauk
mereka sudah mulai menipis atau mereka akan mengadakan pesta. Suku Dayak sangat
menghormati alam. Karena bagi mereka alam memberikan mereka semua kebutuhan
yang mereka perlukan tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan mengelolanya.
No comments:
Post a Comment